October 19, 2006

Pengantar Redaksi

Volume 3 Nomor 2, Mei 2006
Permasalahan perlindungan hak asasi anak dan kasus illegal logging adalah beberapa di antara problematika bangsa ini yang kini sedang mencuat. Kasus Muhammad Azwar atau Raju (8) yang sampai harus disidangkan di pengadilan anak di Pengadilan Negeri Stabat, Langkat, Sumatera Utara atas tuduhan penganiayaan terhadap Armansyah (9) diberitakan oleh berbagai media massa. Belum lagi laporan yang dikemukakan oleh Komisi Nasional (Komnas) Perlindungan Anak bahwa selama tahun 2005 saja telah terjadi 688 kasus kekerasan pada anak, yang terdiri dari 307 kasus kekerasan seksual, 221 kekerasan secara fisik dan 160 kekerasan secara psikis. Angka tersebut tidak termasuk kasus penelantaran anak yang berjumlah 130 kasus. Ditambah lagi permasalahan-permasalahan yang melibatkan anak sebagai korban atau obyeknya seperti perdagangan anak, buruh anak hingga permasalahan anak-anak yang putus sekolah atau kekurangan gizi. Adanya UU Perlindungan Anak diharapkan menjadi payung yang memberikan perlindungan atas banyaknya kasus-kasus yang melibatkan anak-anak sebagai korbannya.

Akan tetapi UU Perlindungan Anak yang sedianya melindungi hak asasi anak ternyata dalam batas tertentu disinyalir oleh beberapa orang justru mengekang hak asasi dan kebebasan anak. Ketentuan yang menjadi sorotan adalah ketentuan dalam Pasal 86 UU Perlindungan Anak yang mengatur mengenai kebebasan anak dalam memperoleh pendidikan dan pengajaran agama. Beberapa pihak kemudian mengajukan permohonan pengujian UU Perlindungan Anak ke MK.

Berbeda ceritanya dengan UU Kehutanan. Permasalahan illegal logging merupakan sorotan utama problema kehutanan di Indonesia. Karena illegal logging, Indonesia mengalami kerugian hingga US$ 12 Miliar per tahun. Karena illegal logging pula laju kerusakan hutan Indonesia mencapai rata-rata 4,1 juta hektar per tahun. Namun, permasalahan yang diangkat oleh pemohon dalam pengujian UU Kehutanan adalah permasalahan fidusia dan hak milik alat angkut yang membawa illegal logging yang ikut disita oleh pihak yang berwenang.

Dilihat dari sudut putusan an sich, pengujian kedua UU ini mungkin tidak menyedot perhatian publik kebanyakan. Alasannya adalah mungkin karena permasalahan yang diperiksa dalam kedua pengujian UU adalah bagian kecil dari permasalahan umum dibalik isu "seksi" permasalahan perlindungan anak dan permasalahan kehutanan.

Secara spesifik pengujian perkara Nomor 018/PUU-III/2005 mengenai Pengujian UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU PA), pemohon menyorot ketentuan Pasal 86 UU PA untuk diuji oleh MK. Ketentuan Pasal 86 tersebut pada intinya dipandang bertentangan dengan hak, kebebasan dan kemerdekaan anak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran agama. Putusan MK yang dijatuhkan atas perkara ini adalah "tidak dapat diterima" artinya bahwa pemohon tidak memenuhi secara cukup persyaratan legal standing untuk menjadi pemohon atas ketentuan pasal tersebut.

Sedangkan dalam pengujian perkara Nomor 012/PUU-III/2005 mengenai Pengujian UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah berdasarkan UU Nomor 19 Tahun 2004 tentang penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2004 menjadi UU, pemohon hanya meminta MK untuk menguji ketentuan yang mengatur mengenai penyitaan alat angkut yang membawa illegal logging. Setelah memeriksa perkara ini, MK memutus bahwa perkara ini "ditolak" yang diwarnai oleh dissenting opinion dari dua orang hakim konstitusi.

Bagi "orang hukum", apapun tema yang diperiksa dan bagaimanapun putusan MK atas perkara tersebut akan selalu menjadi menarik untuk didiskusikan. Dengan menganalisa pertimbangan-pertimbangan hukum yang diambil, diskusi-diskusi mengenai wacana penafsiran konstitusional, "orang-orang hukum" mendapati putusan MK kaya akan materi tersebut untuk dikaji. Analisa tersebutlah yang kemudian dituangkan dalam jurnal edisi ini. Melalui tulisan yang bernuansa yuridis dari seorang Dekan Fakultas Hukum, Dewi Nurul Musjtari, S.H., M.Hum serta dari sentuhan sensitivitas namun mengandung analisa tajam seorang aktivis perempuan, Lilik HS, putusan MK atas pengujian UU Perlindungan Anak dibedah.

Kemudian kajian atas pengujian UU Kehutanan diserahkan pada orang-orang NGO yaitu Ivan Valentina Ageung, S.H. dari WALHI serta Henri Subagiyo, S.H. dari ICEL, dengan tulisan yang diperkaya dengan data-data menjadi ciri khas tulisan atas analisa pengujian UU Kehutanan yang dilakukan oleh keduanya.

Terlepas dari sempitnya bidang lingkup pemasalahan yang dimohonkan pemeriksaan dalam pengujian UU Kehutanan dan UU perlindungan anak dibanding dengan begitu besar variasi dan diferensiasi yang menandai peliknya permasalahan kehutanan dan perlindungan anak di Indonesia, putusan MK telah menjadi landasan dalam rangka mengurai satu demi satu benang kusut kedua persoalan besar yang dihadapi bangsa ini.

Di samping analisa putusan MK, Jurnal Konstitusi edisi ini juga menyajikan tulisan-tulisan lain dalam rubrik-rubriknya sebagai menu hidangan intelektual bagi pembaca budiman.
Untuk rubrik "wacana hukum dan konstitusi" pada jurnal edisi ini mengalami perubahan menjadi "wacana hukum dan konstitusi". Dalam rubrik ini redaksi menampilkan tiga orang penulis yaitu, Prof. Dr. Ismail Suny, S.H., MCL yang mengomentari perihal RUU Pemerintahan Aceh. Dalam tulisannya, Ismail Suny juga memberi tanggapan terhadap tulisan Hikmahanto Juwana yang pernah dimuat dalam Jurnal Konstitusi volume 2 nomor 2. Sedangkan penulis lainnya yaitu Drs. Suriakusumah A. Muthalib, Dipl.IIAP, M.Pd menulis mengenai konstitusi dalam praktek khususnya pembentukan pusat pendidikan kewarganegaraan. Dan penulis berikutnya yaitu Dr. M. Irfan Idris, M.A. membahas soal konstitusionalisasi hukum Islam dalam hukum nasional.

Rubrik "historika konstitusi" yang diasuh tetap oleh R.M.A.B. Kusuma menyajikan tulisan mengenai teori konstitusi dan UUD 1945. Dalam paparannya Ananda membandingkan ciri-ciri sistem pemerintahan termasuk sistem pemerintahan Indonesia. Kesimpulan yang dapat ditarik dari paparan itu adalah terdapatnya kekeliruan di Amandemen UUD 1945. Hal ini menurutnya perlu diperbaiki agar dapat ditemukan sistem pemerintahan Indonesia yang sesuai dengan budaya rakyat Indonesia.

Dalam sejarah perkembangan ilmu hukum dan konstitusi Indonesia, siapa yang tak kenal nama Mr. Muhammad Yamin yang tak asing di "telinga" para penggiat hukum dan konstitusi. Jurnal kali ini menampilkan sosok M. Yamin dalam rubrik "profil tokoh" yang mengupas secara singkat tapi padat mengenai riwayat hidup dan pemikirannya.

Selain tulisan para penulis, dalam jurnal ini redaksi juga menyajikan ringkasan penelitian. Penelitian yang disajikan merupakan penelitian yang dilaksanakan pada tahun 2005 yang membahas mengenai kedudukan militer dalam struktur ketatanegaraan. Setidaknya, menurut hasil penelitian yang dilakukan menyebutkan bahwa ada empat periode perubahan militer dalam struktur ketatanegaraan. Dalam empat periodesasi tersebut fungsi militer pun turut mengalami perubahan dari militer yang multifungsi menjadi militer yang berfungsi sebagai alat pertahanan dan keamanan negara.

Sebagai informasi buku, jurnal ini mengetengahkan dua tulisan resensi masing-masing ditulis oleh Andhika Danesjvara dan Diah Sulistiowati. Dua buku yang diresensi yaitu Mencari Demokrasi: Gagasan dan Pemikiran, dan Aspek Hukum Perlindungan Anak.

Sedangkan untuk rubrik "opini hakim" menghadirkan tulisan dari Hakim Konstitusi Prof. H.A.S. Natabaya, S.H., LLM dengan judul Manifestasi (Perwujudan) Nilai-Nilai Dasar dalam Peraturan Perundang-undangan. Salah satu isi tulisannya menyebutkan bahwa peraturan perundang-undangan pada dasarnya adalah produk politis berbaju yuridis.

Pada kesempatan ini juga perkenankan redaksi menyampaikan permohonan maaf atas keterlambatan terbit Jurnal Konstitusi yang memang sedianya terbit pada bulan April lalu. Keterlambatan ini semata-mata dikarenakan adanya kendala teknis. Dan atas keterlambatan itu sekali lagi redaksi berucap maaf kepada seluruh pembaca setia Jurnal Konstitusi. Semoga kehadiran kami tetap dapat memberi manfaat. Selamat membaca. ==>informasi lebih lengkap silahkan klik www.mahkamahkonstitusi.go.id

No comments: