November 08, 2006

RESENSI BUKU




Judul Buku: MEMPERKUAT NEGARA Tata Pemerintahan dan Tata Dunia Abad 21
Penulis: Francis Fukuyama
Penterjemah: A. Zaim Rofiqi
Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama
Halaman: 181 + vii


Membangun Kekuatan Negara
Oleh MALIK, S.H.

Buku yang berjudul Memperkuat Negara merupakan buah karya Francis Fukuyama, salah seorang pemikir ilmu sosial yang selama ini concern terhadap masalah-masalah sosial. Ia juga termasuk salah seorang yang teliti dan jernih dalam berpikir mengenai peran negara di abad ke-21 ini, sehingga ia mampu menemukan kesalahan berpikir kaum liberalis yang dipercaya banyak orang sebagai kebenaran.

Kelebihan buku adalah keberadaannya yang ditujukan untuk memberikan pemahaman dan kesadaran tentang pentingnya memperkuat peran negara baik dari aspek ruang lingkup negara maupun dari aspek kekuasaan atau kekuatan negara. Ini juga menunjukkan kesalahan-kesalahan atas asumsi mengenai konsep liberalisme yang menghendaki ruang lingkup dan kekuasaan negara harus dibatasi, sehingga dalam perspektif ini negara dikonsepsikan sebagai “Penjaga Malam”.

Telaah tentang memperkuat fungsi negara dirangkum dalam tiga bagian utama. Bagian pertama menjabarkan kerangka analitis untuk memahami berbagai dimensi kenegaraan, yakni fungsi, kemampuan, dan dasar-dasar bagi legitimasi pemerintah. Bagian kedua mengulas tentang sebab-sebab lemahnya negara. Bagian terakhir membahas dimensi internasional dari lemahnya negara.

Masing-masing bagian mempunyai tekanan ide yang berbeda, namun mempunyai kaitan erat dengan bagian-bagian sebelumnya, sehingga untuk memahami perlu suatu penelusuran yang runtut.

Gagasan awal diilhami dari sebuah realitas munculnya aksi-aksi terorisme, penyebaran penyakit HIV, bertahannya tingkat kemiskinan, serta merebaknya perang sipil bukanlah suatu hal yang terjadi secara sendiri. Namun merupakan gejala politik dimana negara sebagai institusi terpenting dalam masyarakat gagal menjalankan perannya. Kegagalan semacam itulah yang menjadi ancaman terbesar umat manusia pada awal abad 21. Kondisi ini membuat Fukuyama berpendapat bahwa sudah saatnya kita memperkuat peran negara dengan terlebih dahulu memahami perannya dalam masyarakat.

Peran negara harus dipahami dalam dua dimensi, yaitu cakupan (scope) maupun kekuatan ataupun kapasitas. Kedua hal ini akan membantu kita untuk memahami apa yang sesungguhnya dimaksud dengan peran negara.

Indikator negara kuat ditandai dengan sejauh mana kemampuan negara menjamin bahwa hukum dan kebijakan yang dilahirkan ditaati oleh masyarakat tanpa harus menebarkan ancaman. Dengan kata lain negara yang kuat adalah negara yang mampu meminimalisir penggunaan kekerasan dan paksaan. Untuk itu dibutuhkan otoritas yang efektif dan terlembaga.

Negara yang kuat dan negara yang lemah memiliki cakupan peranan yang berbeda, dan tidak secara otomatis berhubungan. Cakupan ini ditentukan seberapa jauh negara melakukan atau tidak melakukan kegiatan publik tertentu, misalnya kesehatan, pendidikan, pertahanan keamanan, memungut pajak, melakukan intervensi dan regulasi ekonomi dan lain sebagainya.
Dimensi cakupan atau ruang lingkup ini akan melahirkan klasifikasi fungsi negara yakni: negara dengan fungsi minimal, adalah negara yang hanya membatasi cakupan kegiatannya pada hal-hal yang bersifat elementer. Seperti pembentukan sistem pertahanan dan keamanan, penyediaan sarana infrastruktur dan percetakan mata uang.

Negara dengan fungsi menengah adalah negara yang cakupan kegiatannya diorientasikan untuk menangani persoalan-persoalan eksternal. Misalnya masalah pendidikan, lingkungan hidup, mengatur sektor ekonomi dan masalah asuransi.

Sebaliknya negara yang yang dirigis atau intervensionis ditandai dengan cakupan kegiatan yang ekspansif dan ambisius. Seperti pemilikan unit-unit bisnis, penguasaan dan pengelolaan lansung sumber-sumber ekonomi, mengkoordinasi aktivitas swasta dan lain sebagainya.

Penulis buku ini memaparkan bahwa yang menjadi prioritas adalah kekuatan dibanding dengan lingkup (hal. 23). Dari sudut pandang efisiensi ekonomi misalnya kekuatan lembaga-lembaga negara akan menjadi lebih penting dalam pengertian luas ketimbang lingkup fungsi negara.

Alasan lebih jauh untuk berpikir bahwa kekuatan negara lebih penting dibanding lingkup negara dalam menentukan angka pertumbuhan ekonomi jangka panjang adalah bahwa terdapat suatu hubungan positif yang cukup kuat di berbagai negara antara PDB per kapita dan prosentase yang ditarik oleh pemerintah, yakni negara-negara yang lebih kaya cenderung menyalurkan kekayaan nasional mereka melalui sektor-sektor negara dalam proporsi yang lebih besar.

Dari sini sebenarnya sudah jelas bahwa penulis buku ini ingin mengkaji masalah memperkuat peran negara dengan menggunakan pola pendekatan “kekuatan/kekuasaan”. Hemat saya untuk memperkuat peran negara tidak cukup hanya dikaji dari sudut kekuatan ataupun kekuasaan semata dengan meninggalkan pendekatan ruang lingkup negara.

Lord Shang dalam bukunya A Classic of the Chinese School of Law menyatakan bahwa di dalam setiap pemerintahan atau negara terdapat subyek yang saling berhadapan dan bertentangan yakni pemerintah dan rakyat. Kalau yang satu kuat maka yang lainnya menjadi lemah. Untuk itu sebaiknya pihak pemerintahlah yang harus menjadi kuat agar jangan sampai terjadi kekacauan dan anarchis, karena itu pemerintah atau negara harus selalu berusaha untuk menjadi lebih kuat dari rakyat.

Lain halnya dengan Niccolo Macchiavelli yang mengharuskan negara tetap berada di atas segala aliran-aliran yang ada. Artinya bagaimanapun lemahnya suatu negara harus memperlihatkan bahwa negara tetap lebih berkuasa daripada rakyat.

Pendapat Lord Shang maupun Niccolo Macchiavelli tersebut berbeda dengan Francis Fukuyama. Perbedaannya terletak pada tujuan yang ingin dicapai. Lord Shang maupun Niccolo Macchiavelli menghendaki bahwa tujuan dari memperkuat negara semata-mata diorientasikan kepada kepentingan dan kesejahteraan penguasa, sedangkan Francis Fukuyama menginginkan peran negara menjadi kuat karena bertujuan untuk kesejahteraan masyarakat.

Kalau kita tarik pada tingkat Grand Theory, maka sesungguhnya penulis buku ini ingin mempertautkan dua paham besar yakni paham tentang negara, kekuasaan dan otoritas dengan gagasan atau paham tentang kebebasan, otonomi individual dan moralitas. Kedua paham ini walaupun dapat dibahas secara terpisah, sebenarnya saling terkait dan saling memperkuat, karena kebebasan dan kesejahteraan ekonomi tidak mungkin tercapai tanpa hadirnya negara yang mampu menjalankan perannya secara efektif. Sebaliknya negara yang kuat tanpa menjamin kebebasan dan kesejahteraan warganya akan melahirkan kediktatoran yang tidak akan bertahan lama.

Meskipun demikian, buku ini memiliki kelemahan dalam hal sistematika penulisannya; pendahuluan tidak sinkron dengan daftar isi. Dalam pendahuluan misalnya, penulis mengatakan bahwa buku “Memperkuat Negara” hanya terdiri dari tiga bagian, akan tetapi dalam daftar isi dijumpai bahwa buku karangan Francis Fukuyama ini terdiri dari empat bagian dengan memasukkan bahasan “Lebih Kecil Namun Lebih Kuat” ke dalam bahasan keempat.

Bagaimanapun juga kehadiran buku ini tetap akan menambah khasanah bagi pengembangan kenegaraan dan hukum tata negara. Buku ini juga akan sangat bermanfaat bagi para akademisi, mahasiswa, dan praktisi untuk menambah pengetahuannya dalam bidang hukum tata negara.
(sumber: Jurnal Konstitusi, vol 3 nomor 3, September 2006)

October 19, 2006

Mengundang Menulis

Redaksi mengundang para akademisi, pengamat, praktisi, dan mereka yang berminat untuk memberikan tulisan mengenai putusan MK, hukum tata negara dan konstitusi. Tulisan dapat dikirim melalui pos atau e-mail dengan menyertakan foto diri. Untuk rubrik "Analisis Putusan" panjang tulisan sekitar 5000-6500 kata dan untuk rubrik "Wacana Hukum dan Konstitusi" sekitar 6500-7000 kata. Tulisan yang dimuat akan diberi honorarium.

Pengantar Redaksi

Volume 3 Nomor 2, Mei 2006
Permasalahan perlindungan hak asasi anak dan kasus illegal logging adalah beberapa di antara problematika bangsa ini yang kini sedang mencuat. Kasus Muhammad Azwar atau Raju (8) yang sampai harus disidangkan di pengadilan anak di Pengadilan Negeri Stabat, Langkat, Sumatera Utara atas tuduhan penganiayaan terhadap Armansyah (9) diberitakan oleh berbagai media massa. Belum lagi laporan yang dikemukakan oleh Komisi Nasional (Komnas) Perlindungan Anak bahwa selama tahun 2005 saja telah terjadi 688 kasus kekerasan pada anak, yang terdiri dari 307 kasus kekerasan seksual, 221 kekerasan secara fisik dan 160 kekerasan secara psikis. Angka tersebut tidak termasuk kasus penelantaran anak yang berjumlah 130 kasus. Ditambah lagi permasalahan-permasalahan yang melibatkan anak sebagai korban atau obyeknya seperti perdagangan anak, buruh anak hingga permasalahan anak-anak yang putus sekolah atau kekurangan gizi. Adanya UU Perlindungan Anak diharapkan menjadi payung yang memberikan perlindungan atas banyaknya kasus-kasus yang melibatkan anak-anak sebagai korbannya.

Akan tetapi UU Perlindungan Anak yang sedianya melindungi hak asasi anak ternyata dalam batas tertentu disinyalir oleh beberapa orang justru mengekang hak asasi dan kebebasan anak. Ketentuan yang menjadi sorotan adalah ketentuan dalam Pasal 86 UU Perlindungan Anak yang mengatur mengenai kebebasan anak dalam memperoleh pendidikan dan pengajaran agama. Beberapa pihak kemudian mengajukan permohonan pengujian UU Perlindungan Anak ke MK.

Berbeda ceritanya dengan UU Kehutanan. Permasalahan illegal logging merupakan sorotan utama problema kehutanan di Indonesia. Karena illegal logging, Indonesia mengalami kerugian hingga US$ 12 Miliar per tahun. Karena illegal logging pula laju kerusakan hutan Indonesia mencapai rata-rata 4,1 juta hektar per tahun. Namun, permasalahan yang diangkat oleh pemohon dalam pengujian UU Kehutanan adalah permasalahan fidusia dan hak milik alat angkut yang membawa illegal logging yang ikut disita oleh pihak yang berwenang.

Dilihat dari sudut putusan an sich, pengujian kedua UU ini mungkin tidak menyedot perhatian publik kebanyakan. Alasannya adalah mungkin karena permasalahan yang diperiksa dalam kedua pengujian UU adalah bagian kecil dari permasalahan umum dibalik isu "seksi" permasalahan perlindungan anak dan permasalahan kehutanan.

Secara spesifik pengujian perkara Nomor 018/PUU-III/2005 mengenai Pengujian UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU PA), pemohon menyorot ketentuan Pasal 86 UU PA untuk diuji oleh MK. Ketentuan Pasal 86 tersebut pada intinya dipandang bertentangan dengan hak, kebebasan dan kemerdekaan anak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran agama. Putusan MK yang dijatuhkan atas perkara ini adalah "tidak dapat diterima" artinya bahwa pemohon tidak memenuhi secara cukup persyaratan legal standing untuk menjadi pemohon atas ketentuan pasal tersebut.

Sedangkan dalam pengujian perkara Nomor 012/PUU-III/2005 mengenai Pengujian UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah berdasarkan UU Nomor 19 Tahun 2004 tentang penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2004 menjadi UU, pemohon hanya meminta MK untuk menguji ketentuan yang mengatur mengenai penyitaan alat angkut yang membawa illegal logging. Setelah memeriksa perkara ini, MK memutus bahwa perkara ini "ditolak" yang diwarnai oleh dissenting opinion dari dua orang hakim konstitusi.

Bagi "orang hukum", apapun tema yang diperiksa dan bagaimanapun putusan MK atas perkara tersebut akan selalu menjadi menarik untuk didiskusikan. Dengan menganalisa pertimbangan-pertimbangan hukum yang diambil, diskusi-diskusi mengenai wacana penafsiran konstitusional, "orang-orang hukum" mendapati putusan MK kaya akan materi tersebut untuk dikaji. Analisa tersebutlah yang kemudian dituangkan dalam jurnal edisi ini. Melalui tulisan yang bernuansa yuridis dari seorang Dekan Fakultas Hukum, Dewi Nurul Musjtari, S.H., M.Hum serta dari sentuhan sensitivitas namun mengandung analisa tajam seorang aktivis perempuan, Lilik HS, putusan MK atas pengujian UU Perlindungan Anak dibedah.

Kemudian kajian atas pengujian UU Kehutanan diserahkan pada orang-orang NGO yaitu Ivan Valentina Ageung, S.H. dari WALHI serta Henri Subagiyo, S.H. dari ICEL, dengan tulisan yang diperkaya dengan data-data menjadi ciri khas tulisan atas analisa pengujian UU Kehutanan yang dilakukan oleh keduanya.

Terlepas dari sempitnya bidang lingkup pemasalahan yang dimohonkan pemeriksaan dalam pengujian UU Kehutanan dan UU perlindungan anak dibanding dengan begitu besar variasi dan diferensiasi yang menandai peliknya permasalahan kehutanan dan perlindungan anak di Indonesia, putusan MK telah menjadi landasan dalam rangka mengurai satu demi satu benang kusut kedua persoalan besar yang dihadapi bangsa ini.

Di samping analisa putusan MK, Jurnal Konstitusi edisi ini juga menyajikan tulisan-tulisan lain dalam rubrik-rubriknya sebagai menu hidangan intelektual bagi pembaca budiman.
Untuk rubrik "wacana hukum dan konstitusi" pada jurnal edisi ini mengalami perubahan menjadi "wacana hukum dan konstitusi". Dalam rubrik ini redaksi menampilkan tiga orang penulis yaitu, Prof. Dr. Ismail Suny, S.H., MCL yang mengomentari perihal RUU Pemerintahan Aceh. Dalam tulisannya, Ismail Suny juga memberi tanggapan terhadap tulisan Hikmahanto Juwana yang pernah dimuat dalam Jurnal Konstitusi volume 2 nomor 2. Sedangkan penulis lainnya yaitu Drs. Suriakusumah A. Muthalib, Dipl.IIAP, M.Pd menulis mengenai konstitusi dalam praktek khususnya pembentukan pusat pendidikan kewarganegaraan. Dan penulis berikutnya yaitu Dr. M. Irfan Idris, M.A. membahas soal konstitusionalisasi hukum Islam dalam hukum nasional.

Rubrik "historika konstitusi" yang diasuh tetap oleh R.M.A.B. Kusuma menyajikan tulisan mengenai teori konstitusi dan UUD 1945. Dalam paparannya Ananda membandingkan ciri-ciri sistem pemerintahan termasuk sistem pemerintahan Indonesia. Kesimpulan yang dapat ditarik dari paparan itu adalah terdapatnya kekeliruan di Amandemen UUD 1945. Hal ini menurutnya perlu diperbaiki agar dapat ditemukan sistem pemerintahan Indonesia yang sesuai dengan budaya rakyat Indonesia.

Dalam sejarah perkembangan ilmu hukum dan konstitusi Indonesia, siapa yang tak kenal nama Mr. Muhammad Yamin yang tak asing di "telinga" para penggiat hukum dan konstitusi. Jurnal kali ini menampilkan sosok M. Yamin dalam rubrik "profil tokoh" yang mengupas secara singkat tapi padat mengenai riwayat hidup dan pemikirannya.

Selain tulisan para penulis, dalam jurnal ini redaksi juga menyajikan ringkasan penelitian. Penelitian yang disajikan merupakan penelitian yang dilaksanakan pada tahun 2005 yang membahas mengenai kedudukan militer dalam struktur ketatanegaraan. Setidaknya, menurut hasil penelitian yang dilakukan menyebutkan bahwa ada empat periode perubahan militer dalam struktur ketatanegaraan. Dalam empat periodesasi tersebut fungsi militer pun turut mengalami perubahan dari militer yang multifungsi menjadi militer yang berfungsi sebagai alat pertahanan dan keamanan negara.

Sebagai informasi buku, jurnal ini mengetengahkan dua tulisan resensi masing-masing ditulis oleh Andhika Danesjvara dan Diah Sulistiowati. Dua buku yang diresensi yaitu Mencari Demokrasi: Gagasan dan Pemikiran, dan Aspek Hukum Perlindungan Anak.

Sedangkan untuk rubrik "opini hakim" menghadirkan tulisan dari Hakim Konstitusi Prof. H.A.S. Natabaya, S.H., LLM dengan judul Manifestasi (Perwujudan) Nilai-Nilai Dasar dalam Peraturan Perundang-undangan. Salah satu isi tulisannya menyebutkan bahwa peraturan perundang-undangan pada dasarnya adalah produk politis berbaju yuridis.

Pada kesempatan ini juga perkenankan redaksi menyampaikan permohonan maaf atas keterlambatan terbit Jurnal Konstitusi yang memang sedianya terbit pada bulan April lalu. Keterlambatan ini semata-mata dikarenakan adanya kendala teknis. Dan atas keterlambatan itu sekali lagi redaksi berucap maaf kepada seluruh pembaca setia Jurnal Konstitusi. Semoga kehadiran kami tetap dapat memberi manfaat. Selamat membaca. ==>informasi lebih lengkap silahkan klik www.mahkamahkonstitusi.go.id